Penerapan Syari'at Islam di Aceh adalah sebuah kemenangan atas cita-cita dan perjuangan berbagai dimensi masyarakat untuk menegakkan hukum Allah di sebuah bagian di negeri mayoritas islamis namun tunduk di bawah pemerintahan nasionalis.
Dalam sejarahnya, penerapan syari'at islam di Aceh merupakan tuntutan para pemimpin sejak awal kemerdekaan negara Indonesia. Banyak bermunculan pemberontakan sepanjang perjalanan pasca-kemerdekaan terkait tuntutan masyarakat tentang kejelasan penetapan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan pemberlakuan Syari'at Islam.
Syari'at Islam di Aceh mulai muncul titik terang dengan adanya demonstrasi para mahasiswa dan kerusuhan sosial di Jakarta yang ikut menyuarakan pelanggaran HAM oleh TNI di Aceh pada masa DOM. Demonstrasi ini mengakhiri era orde baru dan memunculkan era reformasi pada tahun 1998, peristiwa ini telah memberi dampak signifikan terhadap kebijakan pelaksanaan syari'at Islam di Aceh. Pasca-perdamaian RI-GAM tahun 2005, Aceh mulai mendapat otonomi-otonomi khusus yang salah satu manfaatnya memberi peluang besar untuk menegakkan sistem syari'at islam yang lebih luas di Tanah Aceh.
Pada tahun 2014 ini, Aceh telah menjadi sorotan tajam dari berbagai penjuru dunia terhadap terobosan penegakan syari'at islam di era global, terlepas dari berbagai isu-isu kontemporer yang beredar masa kini, Aceh telah berhasil menepis isu-isu yang berkembang terkait untuk melemahkan penegakan islam di era modern ini, diantara isu-isu yang dimaksud adalah demokrasi, gender, kaum minoritas, multikulturalisme, pluralisme, hak asasi manusia dan terorisme.
Isu yang paling sering muncul adalah HAM (Hak Asasi Manusia) yang mengkritisi berbagai kebijakan hukum dalam Islam. HAM sering disalahartikan oleh barat, HAM yang dipahami oleh Barat memiliki kerangka dan landasan yang sangat berbeda dengan Islam. HAM Barat berasal dari konsep kuno Yunani-Romawi yang mengaitkan sikap manusia serta mengukur baik-buruknya berdasarkan keserasiannya dengan hukum alam.
Sedangkan Islam menempatkan hak-hak manusia sebagai konsekwensi dari penerapan kewajiban Allah, HAM dalam Islam adalah ketentuan moral yang diatur oleh hukum atau syari'at.
"HAM dalam Islam sangat bersifat teosentris dengan tidak menafikan dimensi antroponsentrisnya, bersumber dan bertujuan untuk Allah"
Pemikir Islam liberal pada umumnya menolak formalisasi syari'at Islam, dalam konteks ini salah satu wacana Islam Liberal adalah tentang negara sekuler, menurut mereka penerapan syari'at Islam adalah keinginan sebagian kelompok Islam termasuk Islam garis keras yang menginginkan formalisasi syari'at Islam ke ruang publik. Penolakan terhadap penerapan syari'at Islam dengan serangkaian alasan yang dikemukakan oleh penganut Islam liberal hanya sebagai sebuah legitimasi intelektual untuk mengabaikan hukum-hukum Allah.
Yang menjadi hal penting bagi pemikir-pemikir Islam khususnya tokoh-tokoh penegak syari'at islam di Aceh adalah bagaimana menjadikan syari'at Islam sebagai solusi dari kegagalan sistem hukum yang lain dan membawa masyarakat kearah yang lebih bermartabat. Wallhu a'lam bissawab
*Penulis adalah: Alumni Pesantren Modern Misbahul Ulum | Santri aktif Dayah Raudhatul Qur'an Tungkop Kab. Aceh Besar.
Referensi penting:
1. Penerapan Syari'at Islam di Aceh | Prof. Dr. Al Yasa' Abubakar, MA.
2. Syari'at Islam dan Isu-isu Kontemporer | Abidin Nurdin, M. Th.I
3. Konstelasi Syari'at Islam di Era Global | Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH / Khairizzaman, M.Ag
Komentar
Posting Komentar