Oleh: Afdhal Purnama
Setelah sekian lama Bangsa Aceh mengangkat senjata dan hidup dalam percobaan genosida, akhirnya wali nanggroe diberi singgasana. Tentu saja negeri ini takkan pernah melupakan mega bencana yang berhasil mendaratkan kapal laut di tengah perkampungan warga. Begitu juga dengan perjalanan panjang muda-mudi Aceh siang malam menepuk-nepuk dada, yang hingga pada akhirnya manjadikan tari saman ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tak benda.
Konflik, tsunami dan saman tersebut merupakan peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam sorak kepanikan dan kegaduhan. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Aceh dari tahun 1989 sampai 2003, yang ditulis dengan tinta merah tetesan darah rakyat yang tak bersalah, kita bisa membayangkan bagaimana teriakan seorang gadis malang yang diperkosa di atas dipan "Rumoh Geudong"? Bagaimana kepanikan ibu-ibu di Simpang KKA diserang oleh tentara yang menembak ke arah kerumunan warga dengan biadab? Bagaimana nasib istri-istri malang di area pekebunan PT.Bumi Flora Idi Rayeuk yang suami mereka dibariskan berjejer dan ditembak secara random tanpa rasa kemanusiaan? Bagaimana kepanikan warga Desa Jambo Keupok ketika perkampungan mereka dibakar oleh tentara yang tak bertanggung jawab? Begitulah sebagian potret kepanikan dalam rentetan peristiwa operasi jaring merah di Aceh.
Pada akhir tahun 2004 silam, Aceh dikejutkan dengan gelombang laut yang pecah di tengah Kota, di pagi minggu yang mencekam dunia, kepanikan warga seolah kiamat dengan tiupan sangkakala, setelah gempa, datanglah segerombolan air laut yang buta, menggulung manusia dengan angkara murka, ratusan ribu nyawa melayang sia-sia, hari-hari setelahnya rakyat hidup dalam lembaran penuh trauma, anak-anak kehilangan orang tua, sanak saudara entah kemana, negeri ini menangis hingga kekeringan air mata, timphan asoe kaya kehilangan rasa.
Dan satu lagi harta Aceh paling puitis sepanjang masa, kepanikan tepuk dada para pemuda di atas penggung budaya, sebuah mahakarya seni yang sangat menegangkan bagi para penyaksinya, adalah tari saman dengan seribu gerakan tangan, dalam kegaduhan penari secara acak membolik-balik tubuhnya, tersirat betapa rumitnya tarian legendaris ini, jika saja salah seorang penari sesak nafas, maka bisa dibayangkan tarian ini akan kehilangan tepuk tangan para pemirsa. Namun, selalu saja setiap penampilan penari saman berhasil memukau ribuan mata, selebihnya adalah tepuk tangan pemirsa disetiap gerakannya yang penuh bisa.
Tiga kegaduhan ini telah memberi ekspektasi terhadap perjalanan Aceh di masa mendatang, konflik, tsunami dan saman telah melukis Aceh di kanvas internasional dari tiga sudut pandang yang berbeda; Pertama, Konflik telah menukilkan Aceh sebagai bangsa yang penuh dengan harga diri, harum ratus bunga pejuang terlahir di sini, pada suatu hari dengan suara lantang berani menentang rezim sentralisasi pemimpin tak tahu diri, yang dengan pergerakan tersebut pada hari ini kita bisa mencium udara syari'at islam dan mengelola otonomi secara mandiri.
Kedua, Tsunami juga ikut berkonstribusi memperkenalkan Aceh di mata dunia, bencana maha-dasyat itu berhasil mengundang para donatur untuk membagi oen bungong meuh dan oen sikhoh-khoh sebagai penenang cacing perut yang lapar dan pengering bekas luka bangsa Aceh di masa-masa duka. Kemudian setelah donatur pulang, giliran investor mengambil alih alur cerita, dengan dalih rekonstruksi dan rehabilitasi, mereka berhasil menyulap benda peninggalan tsunami di berbagai tempat yang pernah dilewatinya sebagai ayeum mata.
Ketiga, Tari saman sejak ditetapkan sebagai daftar representatif budaya tak benda warisan manusia oleh UNESCO pada tahun 2011 silam, menjadikan Aceh semakin dikenal dengan budayanya yang penuh dengan nilai filosofis. Pada pembukaan berbagai pagelaran-pagelaran internasional di berbagai belahan dunia, penari-penari asing mulai menunjukkan kobolehannya melakukan gerak guncang, kirep, lingang dan surang-saring buah tangan Suku Gayo tersebut.
Kini Aceh menjadi tenar dengan cendera mata dari berbagai ending skenario kepanikan, namun semuanya tergantung dari kaca mata mana kita memandang, jika kita bisa mengambil butir-butir pelajaran dari semua kepanikan yang telah terjadi, maka Aceh akan menjadi tanah yang paling berpengalaman dan bangsa yang paling tenang dalam menghadapi setiap masalah. Namun jika tidak, Aceh hanya akan menjadi tanah penunggu sensasi, menciptakan generasi etnosentris yang terus membagakan masa lalu, yang hanya dikenal jika terjadi keributan-keributan, dan hanya akan terkenal setelah kepanikan selesai.
Wallhu a'lam bissawab
*Image: Google Ilustration
Konflik, tsunami dan saman tersebut merupakan peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam sorak kepanikan dan kegaduhan. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Aceh dari tahun 1989 sampai 2003, yang ditulis dengan tinta merah tetesan darah rakyat yang tak bersalah, kita bisa membayangkan bagaimana teriakan seorang gadis malang yang diperkosa di atas dipan "Rumoh Geudong"? Bagaimana kepanikan ibu-ibu di Simpang KKA diserang oleh tentara yang menembak ke arah kerumunan warga dengan biadab? Bagaimana nasib istri-istri malang di area pekebunan PT.Bumi Flora Idi Rayeuk yang suami mereka dibariskan berjejer dan ditembak secara random tanpa rasa kemanusiaan? Bagaimana kepanikan warga Desa Jambo Keupok ketika perkampungan mereka dibakar oleh tentara yang tak bertanggung jawab? Begitulah sebagian potret kepanikan dalam rentetan peristiwa operasi jaring merah di Aceh.
Pada akhir tahun 2004 silam, Aceh dikejutkan dengan gelombang laut yang pecah di tengah Kota, di pagi minggu yang mencekam dunia, kepanikan warga seolah kiamat dengan tiupan sangkakala, setelah gempa, datanglah segerombolan air laut yang buta, menggulung manusia dengan angkara murka, ratusan ribu nyawa melayang sia-sia, hari-hari setelahnya rakyat hidup dalam lembaran penuh trauma, anak-anak kehilangan orang tua, sanak saudara entah kemana, negeri ini menangis hingga kekeringan air mata, timphan asoe kaya kehilangan rasa.
Dan satu lagi harta Aceh paling puitis sepanjang masa, kepanikan tepuk dada para pemuda di atas penggung budaya, sebuah mahakarya seni yang sangat menegangkan bagi para penyaksinya, adalah tari saman dengan seribu gerakan tangan, dalam kegaduhan penari secara acak membolik-balik tubuhnya, tersirat betapa rumitnya tarian legendaris ini, jika saja salah seorang penari sesak nafas, maka bisa dibayangkan tarian ini akan kehilangan tepuk tangan para pemirsa. Namun, selalu saja setiap penampilan penari saman berhasil memukau ribuan mata, selebihnya adalah tepuk tangan pemirsa disetiap gerakannya yang penuh bisa.
Tiga kegaduhan ini telah memberi ekspektasi terhadap perjalanan Aceh di masa mendatang, konflik, tsunami dan saman telah melukis Aceh di kanvas internasional dari tiga sudut pandang yang berbeda; Pertama, Konflik telah menukilkan Aceh sebagai bangsa yang penuh dengan harga diri, harum ratus bunga pejuang terlahir di sini, pada suatu hari dengan suara lantang berani menentang rezim sentralisasi pemimpin tak tahu diri, yang dengan pergerakan tersebut pada hari ini kita bisa mencium udara syari'at islam dan mengelola otonomi secara mandiri.
Kedua, Tsunami juga ikut berkonstribusi memperkenalkan Aceh di mata dunia, bencana maha-dasyat itu berhasil mengundang para donatur untuk membagi oen bungong meuh dan oen sikhoh-khoh sebagai penenang cacing perut yang lapar dan pengering bekas luka bangsa Aceh di masa-masa duka. Kemudian setelah donatur pulang, giliran investor mengambil alih alur cerita, dengan dalih rekonstruksi dan rehabilitasi, mereka berhasil menyulap benda peninggalan tsunami di berbagai tempat yang pernah dilewatinya sebagai ayeum mata.
Ketiga, Tari saman sejak ditetapkan sebagai daftar representatif budaya tak benda warisan manusia oleh UNESCO pada tahun 2011 silam, menjadikan Aceh semakin dikenal dengan budayanya yang penuh dengan nilai filosofis. Pada pembukaan berbagai pagelaran-pagelaran internasional di berbagai belahan dunia, penari-penari asing mulai menunjukkan kobolehannya melakukan gerak guncang, kirep, lingang dan surang-saring buah tangan Suku Gayo tersebut.
Kini Aceh menjadi tenar dengan cendera mata dari berbagai ending skenario kepanikan, namun semuanya tergantung dari kaca mata mana kita memandang, jika kita bisa mengambil butir-butir pelajaran dari semua kepanikan yang telah terjadi, maka Aceh akan menjadi tanah yang paling berpengalaman dan bangsa yang paling tenang dalam menghadapi setiap masalah. Namun jika tidak, Aceh hanya akan menjadi tanah penunggu sensasi, menciptakan generasi etnosentris yang terus membagakan masa lalu, yang hanya dikenal jika terjadi keributan-keributan, dan hanya akan terkenal setelah kepanikan selesai.
Wallhu a'lam bissawab
*Image: Google Ilustration
Komentar
Posting Komentar