Oleh: Afdhal Purnama
Ini adalah sepenggal kisah yang saya kutip dalam sebuah novel berjudul "Korupsi" cendra hati dari Nurkhalis M.Kasim, dosen sosiologi Fakultas Dakwah, UIN Ar-Raniry. Novel ini dinukilkan oleh Tahar Ben Jelloun, seorang sastrawan terkemuka Prancis kelahiran Maroko, peraih Prix Goncourt hadiah sastra paling terkemuka di Prancis pada tahun 1987. Novel yang diluncurkan dalam Bahasa Prancis dengan judul L'Homme rompu pada tahun 1994 ini adalah buah inspirasi dari Novel "Korupsi" yang diterbitkan pada 1945 karya Pramoedya Ananta Toer sastrawan terkemuka Indonesia.
Novel ini berkisah tentang seorang pegawai negeri jujur yang berupaya melawan arus agar tak terperangkap jaring korupsi. Tersebutlah Murad, seorang insinyur, bekerja di Kementerian Umum di Casablanca, Maroko. Tuntutan istrinya yang mata duitan, tekanan kehidupan yang terus mengimpit, serta arus buruk di lingkungan kerjanya yang korup, menggodanya agar menjadi koruptor.
"Asistenmu itu, dialah laki-laki sejati! Gajinya kurang dari gajimu, tapi dia tinggal di vila yang indah, punya dua mobil, dan anak-anaknya bersekolah di sekolah kedutaan Prancis, tambah lagi dia menghadiahi istrinya liburan ke Roma! Dan kamu menghadiahiku alat kontrasepsi dan kita hanya makan daging dua kali seminggu. Ini bukan hidup namanya. Waktu liburan kita hanya pergi ke rumah ibumu, di rumah tuanya di perkampungan kumuh Fes. Apa kamu sebut itu liburan? Kapan kamu akan sadar bahwa keadaan kita ini menyedihkan?"
Penggalan kata-kata ajaib pada halaman 15 tersebut mengawali kisah Murad dalam karya sastra ini. tersebutlah Hilma istri murad penyebab kisah ini tercipta, selebihnya adalah sindiran-sindiran ibu mertua yang menjadikan akal sehat Murad sirna;
"Sidi Larbi mau ganti mobil, ya, saya bisa minta putri saya supaya dia mengusulkan mobil lamanya untuk dijual pada anda dengan harga menarik, kira-kira berapa harganya? Lima, enam ratus, sekarang harga sekian itu tak ada artinya!"
Novel ini layak dibaca sebagai cermin atas situasi di negeri kita yang tak kunjung reda dilanda badai korupsi.
"Kita dihukum karena miskin; kita miskin karena jujur; kita jujur karena kita dididik dari ayah ke anak untuk menghormati hukum."
Ini adalah sepenggal kisah yang saya kutip dalam sebuah novel berjudul "Korupsi" cendra hati dari Nurkhalis M.Kasim, dosen sosiologi Fakultas Dakwah, UIN Ar-Raniry. Novel ini dinukilkan oleh Tahar Ben Jelloun, seorang sastrawan terkemuka Prancis kelahiran Maroko, peraih Prix Goncourt hadiah sastra paling terkemuka di Prancis pada tahun 1987. Novel yang diluncurkan dalam Bahasa Prancis dengan judul L'Homme rompu pada tahun 1994 ini adalah buah inspirasi dari Novel "Korupsi" yang diterbitkan pada 1945 karya Pramoedya Ananta Toer sastrawan terkemuka Indonesia.
Novel ini berkisah tentang seorang pegawai negeri jujur yang berupaya melawan arus agar tak terperangkap jaring korupsi. Tersebutlah Murad, seorang insinyur, bekerja di Kementerian Umum di Casablanca, Maroko. Tuntutan istrinya yang mata duitan, tekanan kehidupan yang terus mengimpit, serta arus buruk di lingkungan kerjanya yang korup, menggodanya agar menjadi koruptor.
"Asistenmu itu, dialah laki-laki sejati! Gajinya kurang dari gajimu, tapi dia tinggal di vila yang indah, punya dua mobil, dan anak-anaknya bersekolah di sekolah kedutaan Prancis, tambah lagi dia menghadiahi istrinya liburan ke Roma! Dan kamu menghadiahiku alat kontrasepsi dan kita hanya makan daging dua kali seminggu. Ini bukan hidup namanya. Waktu liburan kita hanya pergi ke rumah ibumu, di rumah tuanya di perkampungan kumuh Fes. Apa kamu sebut itu liburan? Kapan kamu akan sadar bahwa keadaan kita ini menyedihkan?"
Penggalan kata-kata ajaib pada halaman 15 tersebut mengawali kisah Murad dalam karya sastra ini. tersebutlah Hilma istri murad penyebab kisah ini tercipta, selebihnya adalah sindiran-sindiran ibu mertua yang menjadikan akal sehat Murad sirna;
"Sidi Larbi mau ganti mobil, ya, saya bisa minta putri saya supaya dia mengusulkan mobil lamanya untuk dijual pada anda dengan harga menarik, kira-kira berapa harganya? Lima, enam ratus, sekarang harga sekian itu tak ada artinya!"
Perempuan adalah keponakan setan, mereka menyembunyikan wajah di balik bedak dan debu, dan kita seperti anjing kecil, berlutut di kaki mereka.Selanjutnya adalah Haji Hamid rekan kerja Murad, dalang dibalik kisah terkutuk ini, dia adalah bagian dari orang-orang yang menganggap korupsi sebagai ekonomi paralel, melakukan distorsi antara kompensasi dan pencurian, ini merupakan salah satu argumen koruptor para benih kanker yang menggerogoti negara, ciri khasnya ialah tak terlihat langsung, kecuali kalau dipasang perangkap.
Novel ini layak dibaca sebagai cermin atas situasi di negeri kita yang tak kunjung reda dilanda badai korupsi.
Komentar
Posting Komentar