Oleh: Afdhal Purnama
Keesokan harinya, tersiar kabar bahwa dua aparat pertahanan negara mengakhiri kisahnya pada halaman utama surat kabar serambi, ditembak dengan dua amunisi, dan dua tangan terikat ke belakang dengan seutas tali bernama sepi, sebelum akhirnya ditemukan oleh para santri yang pulang mengaji, mereka menjadi saksi penemuan korban yang terbujur sunyi tanpa selembar puisi.
Sedangkan di bawah langit Kutaraja "Hai! gampong getanyoe ka dikepong," teriak teman saya yang baru pulang membeli nasi gurih sembari menyodorkan surat kabar serambi, saya terkejut dan langsung terbangun dari mimpi, semoga ini bukan kisah masa kecil di pagi minggu beberapa tahun silam, disaat permainan pet-pet kami dikacaukan oleh orang-orang tua yang berebut dasi dengan berdalih berbagai puisi, di tengah semangatnya kami menyanyikan lagu camci bibet-bibet cemuhu cemuhet, datanglah segerombolan tentara berwajah paling suram, mengangkat senjata berwarna paling hitam, orang tua kami histeris memanggil kami untuk masuk ke dalam lubang paling kelam, yang sengaja digali di setiap rumah tempat dimana kami tiarap dengan harapan diberi keselamatan dan umur panjang.
Hari setelahnya, orang tuha di desa kami memasang spanduk di bandar pusat aktifitas mayarakat, yang bertuliskan Pat ujein yang han pirang, pat prang yang han reuda, inilah hadih maja paling sakti yang saban hari terus diriwayatkan untuk menghibur kami oleh para orang tua, guru-guru, dan teungku-teungku. Hingga hadih maja ini terpatri kuat dalam dada kami sampai kini, dan jika saban hari ada perawi yang ingin menukilkan sanad dari hadih maja ini, niscaya hadih maja ini akan menjadi hadih maja paling mutawatir yang pernah tercipta.
Sejak hari itu pula, kami lebih sibuk menghafal Pancasila daripada Sifat Nabi, kami lebih sibuk menghafal lagu Indonesia Raya daripada Asmaul Husna, jika sewaktu-waktu para TNI melakukan sweeping KTP merah putih bagi orang dewasa, maka kami juga akan ikut terjaring dalam sweeping untuk diuji nasionalitas kami. Sedangkan sampai di rumah, kami lebih tertarik berkumpul di hadapan pakwa untuk mendengarkan cerita tentang sipa-i, kami tidak pernah tertarik dengan puisi, bahkan dongeng si punyok favorit kami yang diperdengarkan berulang-ulang setiap hari oleh miwa kami, tak pernah kami hiraukan lagi, kami lebih suka bergaul dengan aduen-aduen kami yang mengetahui banyak cerita tentang kisah Cot trieng dikepung dan dibom dari udara, ataupun tentang cerita kombatan-kombatan kesatria yang menembak pesawat musuh dari atas pucuk pohon kelapa.
Hingga saat kami duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar, tepatnya pada lembaran ke 15 bulan Agustus 2005, setelah beberapa bulan yang lalu ibukota provinsi kami dibasuh oleh air laut yang paling hitam, akhirnya tiba di hari dimana lantunan surat yasin bergema di seluruh atap negeri, di saat dua orang tua kami bertemu di meja perundingan, dan mereka sepakat untuk mengganti isi selongsong dengan mata pena, akhirnya tinta pertama itu tertoreh dalam lembaran MoU Helsingki, kami tak sanggup membendung tangis bahagia, walaupun sebagian sanak-saudara kami telah sirna, namun kami tetap senang setidaknya di masa mendatang kami bebas pergi berenang ke sungai-sungai paling indah yang ada di pelosok kecamatan, memancing ke waduk-waduk paling tentram di balik semak-semak yang rimbun, dan terutama sekali dom boh drien (bermalam menunggu durian runtuh) di gle yang jauh dari perkampungan warga. Itulah pemikiran dan sebagian potret kehidupan bocah kami, yang orang-orang menyebutnya dengan zaman sipa-i.
Sejak hari itu, 15 Agustus selalu diperingati dengan pelepasan burung merpati putih, pertanda kami bebas untuk pergi mengaji, menghafal sifat nabi, dan membuat kreasi pelantunan Asmaul Husna yang suci. Hari-hari setelahnya kami mulai belajar menulis puisi, dengan berbekal buku dan alat tulis Unicef berwarna biru muda harta warisan sang tsunami, sedangkan pemimpin kami sibuk mengurus otonomi, ada yang untuk diri sendiri, ada yang untuk anak istri, dan ada pula untuk dibagi-bagi, terkadang sesekali mereka juga bertengkar berebut tumpok, namun itu biasa, namanya saja orang tua, yang penting kami anak kecil masih leluasa menulis puisi, untuk disajikan kepada penikmat sepi. Beginilah cuplikan memasuki kehidupan zaman puisi.
Hingga tibalah di hari ini, ketika kita sedang sibuk menulis puisi, kembali diingatkan dengan zaman terkutuk itu, di saat mobil-mobil ulee buya, reo dan tank merusak jalan aspal hingga kerikil terdalam, bahkan jalannya pun baru kemarin siap diperbaiki, inilah yang orang barat menyebutkannya dengan istilah Clash Civillization, yaitu benturan peradaban sipa-i dengan peradaban puisi.
Begitulah kisah ini penulis nukilkan dengan tetesan air mata yang paling hitam, semoga orang dewasa semakin dewasa, dan anak kecil tetap diberi kesempatan sebebas-bebasnya untuk menulis puisi, semoga semua kita bisa mengambil pelajaran paling bermanfaat dari kisah ini. Semoga Allah menjauhkan anak-anak masa depan dari sajak-sajak belantara yang ditulis dengan darah duka.
Wassalam,
@afdhalpurnama
Sejak hari itu pula, kami lebih sibuk menghafal Pancasila daripada Sifat Nabi, kami lebih sibuk menghafal lagu Indonesia Raya daripada Asmaul Husna, jika sewaktu-waktu para TNI melakukan sweeping KTP merah putih bagi orang dewasa, maka kami juga akan ikut terjaring dalam sweeping untuk diuji nasionalitas kami. Sedangkan sampai di rumah, kami lebih tertarik berkumpul di hadapan pakwa untuk mendengarkan cerita tentang sipa-i, kami tidak pernah tertarik dengan puisi, bahkan dongeng si punyok favorit kami yang diperdengarkan berulang-ulang setiap hari oleh miwa kami, tak pernah kami hiraukan lagi, kami lebih suka bergaul dengan aduen-aduen kami yang mengetahui banyak cerita tentang kisah Cot trieng dikepung dan dibom dari udara, ataupun tentang cerita kombatan-kombatan kesatria yang menembak pesawat musuh dari atas pucuk pohon kelapa.
Hingga saat kami duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar, tepatnya pada lembaran ke 15 bulan Agustus 2005, setelah beberapa bulan yang lalu ibukota provinsi kami dibasuh oleh air laut yang paling hitam, akhirnya tiba di hari dimana lantunan surat yasin bergema di seluruh atap negeri, di saat dua orang tua kami bertemu di meja perundingan, dan mereka sepakat untuk mengganti isi selongsong dengan mata pena, akhirnya tinta pertama itu tertoreh dalam lembaran MoU Helsingki, kami tak sanggup membendung tangis bahagia, walaupun sebagian sanak-saudara kami telah sirna, namun kami tetap senang setidaknya di masa mendatang kami bebas pergi berenang ke sungai-sungai paling indah yang ada di pelosok kecamatan, memancing ke waduk-waduk paling tentram di balik semak-semak yang rimbun, dan terutama sekali dom boh drien (bermalam menunggu durian runtuh) di gle yang jauh dari perkampungan warga. Itulah pemikiran dan sebagian potret kehidupan bocah kami, yang orang-orang menyebutnya dengan zaman sipa-i.
Sejak hari itu, 15 Agustus selalu diperingati dengan pelepasan burung merpati putih, pertanda kami bebas untuk pergi mengaji, menghafal sifat nabi, dan membuat kreasi pelantunan Asmaul Husna yang suci. Hari-hari setelahnya kami mulai belajar menulis puisi, dengan berbekal buku dan alat tulis Unicef berwarna biru muda harta warisan sang tsunami, sedangkan pemimpin kami sibuk mengurus otonomi, ada yang untuk diri sendiri, ada yang untuk anak istri, dan ada pula untuk dibagi-bagi, terkadang sesekali mereka juga bertengkar berebut tumpok, namun itu biasa, namanya saja orang tua, yang penting kami anak kecil masih leluasa menulis puisi, untuk disajikan kepada penikmat sepi. Beginilah cuplikan memasuki kehidupan zaman puisi.
Hingga tibalah di hari ini, ketika kita sedang sibuk menulis puisi, kembali diingatkan dengan zaman terkutuk itu, di saat mobil-mobil ulee buya, reo dan tank merusak jalan aspal hingga kerikil terdalam, bahkan jalannya pun baru kemarin siap diperbaiki, inilah yang orang barat menyebutkannya dengan istilah Clash Civillization, yaitu benturan peradaban sipa-i dengan peradaban puisi.
Begitulah kisah ini penulis nukilkan dengan tetesan air mata yang paling hitam, semoga orang dewasa semakin dewasa, dan anak kecil tetap diberi kesempatan sebebas-bebasnya untuk menulis puisi, semoga semua kita bisa mengambil pelajaran paling bermanfaat dari kisah ini. Semoga Allah menjauhkan anak-anak masa depan dari sajak-sajak belantara yang ditulis dengan darah duka.
Wassalam,
@afdhalpurnama
Memang begitu banyak kenangan pahit dimasa konflik, termasuk saya yang pernah tinggal di Kr.mane. Semoga pengalaman ini tidak terulang kembali... Airsoft Gun Murah
BalasHapussemoga tidak ternodai dengan kasus din minimi
BalasHapus