Sejak beberapa hari terakhir ini, kejadian "kecelakaan" Humaira di ibukota menjadi buah bibir hangat bagi cut po-cut po di desa. Ini adalah kasus "kecelakaan" kedua yang menimpa bunga desa Gampong Meuruwa yang melanjutkan kuliah di ibukota. Namun, kisah "kecelakaan" Humaira lebih tranding topic dibanding kisah "kecelakaan" sebelumnya, karena kebetulan Humaira adalah anak perempuan semata wayang Pak Sekdes Gampong Meuruwa.
Humaira sebenarnya adalah seorang anak yang baik dan terkenal cantik jelita di SMA kecamatan, di samping cantik dia juga tidak sombong, bergaul dengan siapa saja, dia juga peraih peringkat pertama bertahan sejak kelas satu SD, sehingga ayahnya atau Pak Sekdes tidak ragu lagi untuk mengirim si Humaira melanjutkan pendidikan perguruan tingginya di ibukota.
Ternyata niat ini disponsor penuh oleh Cut Nun yang merupakan ibu kandung Humaira, dengan harapan suatu saat nanti Humaira akan pulang ke desa membawa oleh-oleh perubahan yang moderat untuk merubah nasib keluarga dan masyarakat di desa pelosok itu.
Ternyata niat ini disponsor penuh oleh Cut Nun yang merupakan ibu kandung Humaira, dengan harapan suatu saat nanti Humaira akan pulang ke desa membawa oleh-oleh perubahan yang moderat untuk merubah nasib keluarga dan masyarakat di desa pelosok itu.
Namun nasib sungguh malang kepalang, Si Nasir seorang pemuda penjual bubur di Ibukota, telah berani-beraninya mengirim oleh-oleh lain dalam kotak kado anak semata wayang Pak Sekdes, yang membuat Pak Sekdes naik pitam ketika mendengar cerita ini, ia ingin sekali menggantung si Nasir di atas pucuk pohon mamplam, dibunuh oleh anak buah Nurdin AK-47 yang berwajah paling suram, dan kemudian membakarnya dalam sekam. Lebay Pak Sekdes
Hingga pada suatu malam, pergilah Pak Sekdes ke rumah si Leman, sahabat akrabnya, kunjungan ini bermaksud untuk mencari sedikit suaka politik, mengingat akhir-akhir ini ia tidak tahu lagi ingin membawa kemana wajahnya. Sesampainya disana, Pak Sekdes bercerita panjang lebar tentang nasib anaknya, "Oh nyan kayem terjadi di kuta-kuta rayeuk" (Oh itu sering terjadi di kota-kota besar), jawab si Leman dengan nada sepele.
Si Leman yang pernah menjadi dosen terbang di ibukota sangat paham tentang kehidupan remaja di sana, beragam variasi muda-mudi terdapat di ibukota, mulai dari yang sarapan pagi pakai sira campli, pakai mie ind*mie, hingga yang makan bu guri. Mulai dari kebiasaan anak lelaki nongkrong sepanjang hari sambil main CoC, sampai kebiasaan anak perempuan duduk di kedai kopi dengar musik sambil buka path. Ampyun
Jika dilihat dari sisi psikologis, usia remaja adalah usia anak muda yang cenderung suka bergaul, mencari teman, hidup dalam komunitas tertentu yang mereka merasa nyaman di dalamnya, setiap anak muda pasti memiliki kegemaran yang berbeda-beda.
Di ibu kota, para remaja bebas memilih jalannya sendiri, dan ketika semua putra-putri daerah berkumpul di ibukota, maka disana akan menciptakan perbauran budaya dan melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang cenderung mengikuti mode iklan di televisi, dan jika mereka tidak memiliki dasar pijakan, maka mereka akan sangat mudah terpeleset kemana-mana, misalnya ke dalam pelukan, sebagaimana yang terjadi pada Humaira dalam kisah ini.
Satu-satunya solusi untuk mencegah "kecelakaan-kecelakaan" seperti ini memang proteksi yang kuat dari dalam diri masing-masing, pastinya dengan penguatan karakter dan keyakinan beragama Islam sejak dini. Di samping itu, kepekaan nasehat orang tua, juga konstribusi pemegang tanggung jawab di perguruan tinggi dan aparatur desa di lokasi tempat mereka tinggal, sangat penting untuk menggiring langsung mereka ke dalam komunitas-komunitas positif, sebagai wadah dimana para pemuda bisa mengembangkan semua kapasitas kreativitas mereka.
Menyo jeit ta peulaku, boh labu jeit keu asoe kaya
Menyo hanjeit ta peulaku, aneuk teungku jeit keu beulaga
Kemudian si Leman berkata, "Ini bukan zaman siti Nur Boiti, anak-anak gadis kita sudah sangat berbaik hati, anak-anak lelaki di luar sana adalah penguasa matahari, jika kita tidak bisa memproteksi si buah hati, nantinya kita yang akan dilalap api."
"Jangan kutuk Humaira dengan kekhilafan ini, paling tidak ini akan menjadi sebuah pelajaran paling nyata untuk kita semua, tentang bagaimana kelak kita menuntun anak dan cucu kita, jangan menilai seseorang dari masa lalunya, matahari esok pagi menunggu Humaira untuk mengejarnya," lanjut si Leman.
Ada saatnya kita mencaci pedas kata kezaliman, ada saatnya kita mengutuk keras kata kehilangan, namun ada masa, dimana kita harus berteman dekat, dengan kenyataan.
Selepas mendengar semua taujihad wal-irsyadat dari si Leman, akhirnya tegukan terakhir kopi pak sekdes menemukan rasanya, setelah beberapa sirkuit saraf pak sekdes menemukan jalan keluarnya yang buntu untuk beberapa hari terakhir. Sekarang pak sekdes akan pulang kerumah dan menyusun kembali skenario terbaik untuk lembaran baru kehidupan anak semata wayangnya itu.
Sesampainya di halaman rumah, betapa terkejut pak sekdes, ketika melihat Cut Nun, yaitu istri yang merupakan tulang rusuk pak sekdes, tergantung di atas pucuk pohon mamplam, dengan tali terlilit di leher hingga keram, dan anak buah Nurdin AK 47 yang berwajah paling suram, sedang berusaha menyelamatkannya di tengah pekat malam.
Wassalam,
@afdhalpurnama
Hingga pada suatu malam, pergilah Pak Sekdes ke rumah si Leman, sahabat akrabnya, kunjungan ini bermaksud untuk mencari sedikit suaka politik, mengingat akhir-akhir ini ia tidak tahu lagi ingin membawa kemana wajahnya. Sesampainya disana, Pak Sekdes bercerita panjang lebar tentang nasib anaknya, "Oh nyan kayem terjadi di kuta-kuta rayeuk" (Oh itu sering terjadi di kota-kota besar), jawab si Leman dengan nada sepele.
Si Leman yang pernah menjadi dosen terbang di ibukota sangat paham tentang kehidupan remaja di sana, beragam variasi muda-mudi terdapat di ibukota, mulai dari yang sarapan pagi pakai sira campli, pakai mie ind*mie, hingga yang makan bu guri. Mulai dari kebiasaan anak lelaki nongkrong sepanjang hari sambil main CoC, sampai kebiasaan anak perempuan duduk di kedai kopi dengar musik sambil buka path. Ampyun
Jika dilihat dari sisi psikologis, usia remaja adalah usia anak muda yang cenderung suka bergaul, mencari teman, hidup dalam komunitas tertentu yang mereka merasa nyaman di dalamnya, setiap anak muda pasti memiliki kegemaran yang berbeda-beda.
Di ibu kota, para remaja bebas memilih jalannya sendiri, dan ketika semua putra-putri daerah berkumpul di ibukota, maka disana akan menciptakan perbauran budaya dan melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang cenderung mengikuti mode iklan di televisi, dan jika mereka tidak memiliki dasar pijakan, maka mereka akan sangat mudah terpeleset kemana-mana, misalnya ke dalam pelukan, sebagaimana yang terjadi pada Humaira dalam kisah ini.
Satu-satunya solusi untuk mencegah "kecelakaan-kecelakaan" seperti ini memang proteksi yang kuat dari dalam diri masing-masing, pastinya dengan penguatan karakter dan keyakinan beragama Islam sejak dini. Di samping itu, kepekaan nasehat orang tua, juga konstribusi pemegang tanggung jawab di perguruan tinggi dan aparatur desa di lokasi tempat mereka tinggal, sangat penting untuk menggiring langsung mereka ke dalam komunitas-komunitas positif, sebagai wadah dimana para pemuda bisa mengembangkan semua kapasitas kreativitas mereka.
Menyo jeit ta peulaku, boh labu jeit keu asoe kaya
Menyo hanjeit ta peulaku, aneuk teungku jeit keu beulaga
Kemudian si Leman berkata, "Ini bukan zaman siti Nur Boiti, anak-anak gadis kita sudah sangat berbaik hati, anak-anak lelaki di luar sana adalah penguasa matahari, jika kita tidak bisa memproteksi si buah hati, nantinya kita yang akan dilalap api."
"Jangan kutuk Humaira dengan kekhilafan ini, paling tidak ini akan menjadi sebuah pelajaran paling nyata untuk kita semua, tentang bagaimana kelak kita menuntun anak dan cucu kita, jangan menilai seseorang dari masa lalunya, matahari esok pagi menunggu Humaira untuk mengejarnya," lanjut si Leman.
Ada saatnya kita mencaci pedas kata kezaliman, ada saatnya kita mengutuk keras kata kehilangan, namun ada masa, dimana kita harus berteman dekat, dengan kenyataan.
Selepas mendengar semua taujihad wal-irsyadat dari si Leman, akhirnya tegukan terakhir kopi pak sekdes menemukan rasanya, setelah beberapa sirkuit saraf pak sekdes menemukan jalan keluarnya yang buntu untuk beberapa hari terakhir. Sekarang pak sekdes akan pulang kerumah dan menyusun kembali skenario terbaik untuk lembaran baru kehidupan anak semata wayangnya itu.
Sesampainya di halaman rumah, betapa terkejut pak sekdes, ketika melihat Cut Nun, yaitu istri yang merupakan tulang rusuk pak sekdes, tergantung di atas pucuk pohon mamplam, dengan tali terlilit di leher hingga keram, dan anak buah Nurdin AK 47 yang berwajah paling suram, sedang berusaha menyelamatkannya di tengah pekat malam.
Wassalam,
@afdhalpurnama
Komentar
Posting Komentar