Oleh: Afdhal Purnama
Hidup
adalah perjalanan, kita berjalan bukan untuk pergi, namun kita berjalan untuk kembali, kita telah datang dari alam yang sangat ajaib, melebihi apa yang telah
diceloteh oleh ilmu pengetahuan, kita terlahir tak sekedar dari hasil proses
seleksi alam, lebih dari itu, kita dimenangkan oleh
takdir, hidup dalam suratan takdir, hingga suatu saat ketiadaan menjemput kita atas
nama takdir.
Mencoba
memahami hidup sama seperti mencoba menerka-nerka keadaan, di sana, banyak rasa
yang harus kita cicipi, banyak warna yang harus kita amati, banyak persimpangan
yang harus kita lewati, banyak teka-teki yang harus kita ikuti, namun
tidak semuanya kita yang harus alami, kita hanya mendapatkan jatah sebagian
saja, entah itu pahit atau manis, hitam atau putih, berliku atau lurus, susah
ataupun mudah.
Seperti
kata waktu, hidup adalah tumbuh, bergerak dan berkembang, sebelum akhirnya
dijemput oleh ketiadaan. Dan di dalamnya, adakala manusia bersemangat mengejar
dunia, catatan rencana nafsunya ternukil di setiap dinding ingatan. Adakala manusia
menemukan hidayah, berusaha zuhud mendekatkan diri pada Allah, air mata do’anya tumpah
di setiap lembar sajadah. Adakala manusia dikutuk oleh angan-angan sendiri,
dibelenggu oleh kemalasan dan terbengkalai di sudut kamar. Hingga, datanglah
kalanya manusia harus berteman sangat dekat dengan kenyataan.
Dari
azan ke azan, manusia terus berjalan, menyelinapi nasib, menyelusuri takdir, menerkam
apa saja yang mengenyangkan, meneguk apa saja yang mereka temukan, mengutuk apa
saja yang menghalangi jalan, bahkan di saat sebagian dari mereka sedang berjuang
demi sepiring nasi, ada sebagian yang lain sedang mencoba menelan bumi, hingga
tiba-tiba mereka semua dijemput oleh ketiadaan.
Entah apa yang ada dalam pikiran, entah
apa yang direncanakan nafsu, entah sekuat manakah benteng iman, adakah yang
lebih bulat dari bumi, mungkinkah kuning telor mata sapi, atau bola mata burung hantu
yang berkelana di malam hari, entahlah, kita hidup di zaman entah berantah,
setelah melewati gunung selawah ada hamparan barisan sawah, setelah malam
dengan gemuruh selawat ada siang dengan ribuan pelukan maksiat.
Namun hidup harus tetap berjalan, kita harus terus belajar bagaimana cara bersepatu yang benar, karena jalanan kehidupan tak pernah kehabisan kerikil, jangan pernah menangis, tangis takkan merubah apapun, dunia tidak pernah baik kepada siapapun, jangan pernah takut sendiri, karena kita adalah hamba dari yang Maha Mengasihi. Jangan sampai salah arah. Nah!
Namun hidup harus tetap berjalan, kita harus terus belajar bagaimana cara bersepatu yang benar, karena jalanan kehidupan tak pernah kehabisan kerikil, jangan pernah menangis, tangis takkan merubah apapun, dunia tidak pernah baik kepada siapapun, jangan pernah takut sendiri, karena kita adalah hamba dari yang Maha Mengasihi. Jangan sampai salah arah. Nah!
Wallahu'alam bissawwab
Wassalam,
*Picture: Google Illustration
Komentar
Posting Komentar