Cahaya fajar dengan
egoisnya mengusik malam dan mengusir indahnya rembulan, namun kejora tetap di
atas sana, di ufuk timur, tak tahu sampai kapan ia bertahan menanti sang
kekasih kembali.
Percikan air dari surau
kecil mulai berjatuhan tatkala suara azan berkumandang merdu membangunkan
makhluk di seluruh jagat raya, berdengung hingga ke saluran telinga terdalam
dari seorang astronout yang sedang melayang mangharap gravitasi datang agar
kakinya menyentuh bulan, menggetarkan koklea telinganya, membuat sel sensori
tersebar di seluruh permukaan membran basiler, membuat sel-sel rambut telinga
bergerak ke atas dan ke bawah berharap menyentuh membran tektorial untuk
mengajak otak merasakan indahnya shalat sunat fajar.
Sedangkan sebagian manusia
di planet bumi masih terlelap ditemani remangnya lampu tidur, berharap
seseorang datang dengan sebuah senyuman penutup mimpi, "Kajeit beudoh jak
sembahyang suboh, bek tuwo meudo'a nak luloh bak tes snmptn singoh
beungoh," suara itu mengiang di dalam telinga saya, lama saya mencari dari
mana suara itu berasal, namun saya tidak menemukannya, tak lama kemudian mata
mulai terbuka dalam remang-remang menatap seorang perempuan berkerudung putih
berdiri di depan pintu. Apakah dia malaikat subuh yang ingin memberi saya
jawaban untuk soal snmptn nanti pagi?. Dia menyalakan lampu dan berdiri tepat
di hadapan saya, ternyata suara itu adalah suara kakak saya yang bercampur
dengan suara keong yang menemani saya tidur dalam mimpi tadi malam setelah
mengupas isi buku menghadapi snmptn. "Ia kak," hanya itu kata yang
keluar dari mulut saya.
Ini adalah hari, waktu
dimana saya akan kembali mengukir bulatan-bulatan kecil dalam sebuah bingkai
mistar dengan sebatang pensil kayu di atas sehelai kertas putih, ini adalah
untuk ke tiga kalinya dalam hidup saya mengikuti tes ujian snmptn yang hanya dengan
bermodalkan sebuah semangat, semangat itu telah saya kumpulkan di dalam sebuah
tas samping berwarna hitam, dengan semangat itu saya mengendarai sepada motor
melawan suhu dingin yang masih diselimuti embun pagi, semangat itu telah
menghipnotis saya, semangat untuk mendapatkan sebuah keajaiban, dan berpaling
dari sebuah disiplin ilmu yang telah setia menemani saya selama enam tahun
lamanya.
Perguruan tinggi itu
berdiri kokoh di tengah-tengah orasi mahasiswa yang bersorak menjunjung tinggi
tri dharma perguruan tinggi, membanggakan civitas-civitas akademika, walaupun
sebagian mereka tak tahu apa itu tri dharma dan apa itu civitas. Saya ingin
bergabung dengan mereka, ingin menjadi agent of change, ingin mempunyai
jas almamater, ingin memegang towa dan bersorak di depan rakyat Indonesia
"Mari kita ciptakan perubahan," walaupun saya sendiri tak tahu apa
yang harus diubah. Namun itu hanyalah sebuah lamunan anak laki-laki yang
kemaren baru menyelesaikan pendidikan SMA, lamunan yang akhirnya buyar setelah
memarkirkan kereta.
Terlihat ribuan calon
mahasiswa berkumpul memadati ruang ujian dengan expresi wajah penuh harapan
akan keberuntungan menghampiri mereka, begitu juga dengan saya, tetapi saya
lupa memasukkan rasa harap ke dalam tas, saya hanya memasukkan rasa semangat,
semangat untuk menaklukkan sebuah jurusan yang paling misterius, yang
menumbuhkan rasa penasaran saya yang cukup dalam terhadapnya.
Pada hari itu semua jemari
bekerja lebih lihai dari biasanya, tatapan mata lebih tajam dari pada tatapan
José Manuel Pinto colorado saat menjaga gawang barcelona, dan otak yang
berfikir lebih fokus dari pada fokusnya Paul Morphy saat mengalahkan Jenderal
Winfield Scott pada pertandingan catur 1846 di New Orleans, "Waktu habis,
silahkan meniggalkan ruangan dan kertas jawaban tetap di atas meja,"
sebuah ucapan yang keluar dari bibir dosen pengawas itu membuat saya cemas,
cemas akan masa depan, cemas akan apa yang terjadi sebulan yang akan datang.
Setelah sebulan kehidupan
ini dihiasi oleh warni-warni penasaran yang penuh harapan, akhirnya waktu itu
tiba, waktu dimana warnet-warnet penuh dikunjungi oleh remaja lulusan SMA,
koran-koran diburu oleh anak muda, dan jaringan internet yang berkeringat
kelelahan malayani semangat anak bangsa mengejar masa depan. Namun semuanya
sirna, ketika saya membuka website itu, seolah-olah mata saya buta dan gelap
gulita. Kenapa kemarin sore saya tidak menjadi seorang bajak laut menggantikan
Blackbeard untuk meneror laut Karibia dengan menutup ke dua mata saya?, apakah
hari ini saya akan menjadi Helen Adams Keller hanya sebagai reinkarnasi dari
semua penderitaannya?, ataukah sama dengan kesedihan Nabi Ya'qub as yang
menjadi buta setelah kehilangan anaknya Nabi Yusuf as?, ataukah harus direlakan
seperti kerelaan Nabi Ibrahim as ingin menyembelih anaknya Ismail as namun
akhirnya Allah menggantikannya dengan seekor kibas? apakah saya juga akan
mendapatkan kibas itu?
Hidup ini penuh dengan
teka-teki, mempunyai tiga dimensi, dan kata orang hidup ini seperti roda yang
berputar, suatu hari kita akan tahu sesungguhnya Allah tidak memberikan apa
yang kita inginkan, tapi Allah selalu memberikan apa yang kita butuhkan.
Oleh karena itu jangan bersedih, karena Allah memotivasi kita dua kali, inna
ma'al 'usri yusra fa inna ma'al 'usri yusra.
Semoga rembulan dan bintang
kejora bisa berjumpa kembali esok malam, untuk mengucapkan kata cinta yang
telah dirangkainya kemarin sore, yang tak sempat terucap semalam karena cahaya
fajar datang mengusik awan.
Komentar
Posting Komentar