Akeela, surat ini ku tulis dengan butir-butir hujan yang tumpah di pelataran cangkir kopi, ku harap engkau membacanya dengan sejuk, sedingin serbuk gula yang menggigil di bawah ampas hitam.
Sudah sangat lama aku tidak menulis Akeela, hingga tinta penaku beku, jemariku kaku, pikiranku membatu, ku pikir dengan menulis surat untukmu akan merangsang kembali saraf kepalaku yang telah lama dicabik-cabik kutu.
Ku tulis surat ini di atas meja dari batang kayu yang dipotong bulat seukuran rembulan, tatkala gerimis mulai berjatuhan membasahi bayang-bayang atap rumbia, matahari tak tampak Akeela, langitnya hitam sepekat cinta, yang ada hanya bunyi gemercik air yang jatuh di atap pikiranku, dan aku mulai memikirkanmu.
Akeela, Masih ingatkah engkau sebuah petang yang kelam? Hari dimana seorang penyair mencuri sepotong senja untuk pacarnya, langit kehilangan cahaya, orang-orang panik, polisi kalang kabut, bunyi sirene mendengung di atas atap kota, dan kita saling menatap, lalu mulai saling menerka malapetaka apa yang akan terjadi?
Waktu itu engkau memakai jubah ungu, wajahmu bersinar sejingga senja, bola matamu menjelma al-lu'lu' walmarjan, alis matamu selembut permadani Turki, bulu matamu ilalang melambai di taman kota, dan kerudungmu teduh seperti sayap payung Masjid Nabawi, Namun tiba-tiba aku menjadi sedikit cemas ketika melihat wajahmu berkilauan seperti emas.
Benar saja Akeela, tiba-tiba segerombolan orang dengan penuh amarah berjalan ke arah kita, "Kembalikan senja di atap kota kami!" teriak seorang bocah perempuan kecil dengan mata setajam puisi ke arahku, dan kita mulai semakin kebingungan, namun wajahmu tetap saja bersinar semakin terang.
Sore itu menjadi malam gelap gulita, yang ada hanya cahaya dari wajahmu, sedangkan wajahku adalah bulan, sebuah satelit alam yang menerima pantulan sinarmu, pantas saja mereka mengira aku telah mencuri senja di atap kota itu.
Lalu mereka murka Akeela, merebutmu dariku, saat itu air matamu semerbak kembang api, engkau dipaksa menuju ufuk barat tempat dimana matahari tenggelam, andai saja aku bisa berenang di semesta pasti engkau akan ku selematkan, namun aku tidak bisa berbuat banyak Akeela, mereka menawanku, kita hidup di negeri yang orang-orangnyanya bermain hakim secara berjama'ah.
Setelah itu langit tetap juga kelam Akeela, sinar wajahmu tenggelam bersama kalimat terakhir azan magrib paling menggetar jiwa, sejak hari itu rembulan malam tak pernah lagi bercahaya, dan matahari Akeela, adalah rambutmu yang mengibas selendang api. []
Setelah itu langit tetap juga kelam Akeela, sinar wajahmu tenggelam bersama kalimat terakhir azan magrib paling menggetar jiwa, sejak hari itu rembulan malam tak pernah lagi bercahaya, dan matahari Akeela, adalah rambutmu yang mengibas selendang api. []
Komentar
Posting Komentar