Google Ilustration |
Oleh: Afdhal Purnama
Pada sebuah subuh Jum'at oktober yang sejuk, aroma udara pagi itu sedikit lebih segar dari biasanya, mungkin karena peralihan cuaca yang sedang transisi dari musim hujan yang membasuh bumi beberapa pekan yang lalu ke musim cerah berawan khususnya di bawah langit Kutaraja.
Subuh itu barangkali adalah sebuah awal baru yang penuh makna dari setiap awal hari yang selalu saya anggap sebagai sebuah awal yang baru, setelah menunaikan shalat shubuh berjamaah pada hari yang syahdu itu seorang penceramah naik ke atas mimbar membawa sebuah tausiyah yang lebih kurang tajuknya ahwal menata pikiran.
Memang nasehat-nasehat akan lebih mudah masuk ke dalam hati dan pikiran kita di saat-saat tenang seperti waktu Subuh, sang muballigh menyampaikan bahwa organ otak manusia sebagai alat berpikir diletakkan Allah di bagian tubuh paling atas yaitu di kepala, di saat seseorang berdiri maka otaknya akan lebih tinggi dari hatinya, di saat seseorang berbaring maka otaknya akan sama posisi dengan hatinya, namun di saat seseorang bersujud otaknya akan lebih rendah daripada hatinya.
Sebuah analogi yang kemudian beliau kupas cukup panjang selama berdiri di atas mimbar masjid itu, tentang seseorang yang cerdas itu pada hakikatnya harus sering bersujud, agar otaknya lebih rendah dari hatinya, supaya akal pikirannya tidak menginjak-injak hati nurani, itulah yang kemudian disebut dengan kecerdasan spiritual, di saat seseorang sudah dekat kepada Allah sang maha pencipta maka ia mendapatkan kecerdasan hakiki yang seharusnya didapatkan oleh seseorang yang menuntut ilmu.
Begitulah konsep menata pikiran, agar pikiran dituntun oleh hati, tak ada yang lebih manjur untuk mengobati arah pikiran selain meletakkan otak lebih rendah dari hati, jika seseorang ingin memperbaiki hidupnya, mulailah dari memperbaiki sujudnya.
Barangkali juga kecerdasan yang kita dapatkan selama ini tidak lepas dari do'a yang dipanjatkan oleh sang ibu kepada Allah, dari sanalah kemudian turun hujan ilmu yang tertampung dalam atap pikiran kita, makanya sangat tidak wajar di saat seseorang meraih sebuah tingkat kemahiran tertentu dia berubah sombong seakan hasil jerih payahnya sepihak untuk tiba di posisi tersebut.
Perbanyaklah rendah hati, agar kita bisa menjalani hidup lebih tenang, Allah mencintai hambanya yang serius namun tidak tergesa-gesa.
Komentar
Posting Komentar